“FAKULTAS SWASTA DIDALAM KAMPUS NEGERI”
Oleh: Isbul Ansari
Terlihat
ada yang beda setelah Pimnas (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) diselenggarakan
di Universitas Halu Oleo Kendari. Ketika acara Pimnas-28 berlangsung sangat
terlihat jelas perbaikan-perbaikan di sudut kampus banyak dilakukan. Memang pada dasarnya disadari ataupun tidak,
acara Pimnas ke 28 kemarin membawa angin segar di lingkungan kampus hijau
kebanggaan kita.
Tentunya
sebagai mahasiswa yang berlindung di balik almamater UHO (Universitas Halu
Oleo), serta para civitas akademika dan orang-orang yang merasa bagian dari UHO
kita seharusnya patut berbangga karena ternyata Universitas Halu Oleo mampu
menyelenggarakan event besar yang sebelumnya banyak diragukan oleh universitas-universitas
lain. Ini merupakan ajang pembuktian kepada universitas-universitas raksasa di
Indonesia bahwa Universitas Halu Oleo juga mampu bersaing di kanca nasional
dalam bidang akademik dan non-akademik.
Keraguan
universitas-universitas lain yang ada di Indonesia khususnya daerah jawa
sebagai kiblat dunia akademisi saat ini, bukan sesuatu yang tidak wajar. Universitas
Hasanuddin misalnya sebagai universitas terbesar yang menjadi barometer
kemajuan pendidikan di Indonesia Timur pernah mendapat kepercayaan sebagai tuan
rumah Pimnas, tetapi penyelenggaraannya dianggap sangat tidak sukses.
Wajar
saja jika universitas-universitas di luar Indonesia Timur mempunyai persefsi
jika Pimnas di laksanakan di luar pulau jawa maka tidak sukses. Tetapi kemudian
Universitas Halu Oleo sebagai anak dari Universitas Hasanuddin ternyata mampu menyelenggarakan
pimnas dengan predikat sukses. Ini merupakan prestasi yang seharusnya
diapresiasi oleh masyarakat kampus hijau.
Namun,
semua kebanggaan dan prestasi yang sempat disandang UHO sebagai penyelenggara
Pimnas-28, sekarang ini hanya tinggal nama. Perbaikan di sudut-sudut kampus pun
tidak terlihat lagi, terutama di lingkungan FIB (Fakultas Ilmu Budaya) yang
sempat dijadikan tempat lomba PKM-P pada pimnas-28 kemarin. Paving-blok yang
dahulunya dipasang dengan cepat dan cekatan oleh para tukang pun sudah mulai lamban,
padahal sebelum Pimnas para tukang terlihat sangat antusias menyelesaikan
pemasangan paving-blok yang pada akhirnya juga tidak mencapai target. Memang akan
banyak keganjalan yang didapati ketika kita ingin mengoreknya lebih jauh.
Belum
lagi jika kita melongok sisi dalam gedung FIB baru, seharusnya setiap ruangan
staf dan dosen sebagai tempat administrasi mempunyai pendingin ruang tersendiri
tanpa harus menyediakan kipas angin manual. Bahkan di lantai dasar pun yang dijadikan
sebagai ruang kuliah yang notabene mempunyai pendingin ruangan di setiap ruang bisa
dikatakan tidak mempunyai pendingin ruangan sama sekali, Air Conditioner di dalam ruangan terkadang tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, akhirnya konsentrasi mahasiswa dalam menerima materi dari
dosen pun sangat terngganggu. Seharusnya
hal ini menjadi perhatian birokrasi fakultas dalam tujuannya menciptakan lulusan
yang berkualitas.
Ini
merupakan gejala yang seharusnya mampu dicerna oleh mahasiswa maupun civitas
akademika FIB. Ada apa dibalik semua ini, mungkinkah penyelenggaraan Pimnas
yang selama ini kita banggakan memang hanya dirancang untuk mendapat predikat
sukses, tanpa memikirkan imbasnya kedepan terhadap kondisi kampus hijau
sendiri. Atau mungkin ada pengesampingan terhadap FIB dari birokrasi
universitas, atau malah dari tubuh FIB sendiri terjadi kongkalikong dan saling
tarik menarik kepentingan.
Tahun
ini Universitas Halu Oleo mendapat kucuran dana dari pemerinah pusat sebesar Rp
35 milyar untuk membangun gedung perkuliahan baru dan juga membenahi gedung
lama. Pembangunan gedung FIB sendiri menelan anggaran hingga Rp 6 milyar. Ini
lagi-lagi kasus yang mestinya jadi sorotan masyarakat kampus hijau, dari dana
sebesar 35 milyar tidak ada sepersen pun yang di alokasikan untuk membenahi
gedung lama. Padahal Rektor Universitas
Halu Oleo sendiri Prof. Dr. Usman Rianse pernah mengungkapkan pihaknya tidak
akan berhenti membangun gedung perkuliahan baru dan juga membenahi gedung
kuliah yang sudah lama. Termasuk penembahan gedung kuliah bagi FIB.
Dari
total enam program studi yang ada di FIB, yaitu Antropologi, Arkeologi, Sastra
Inggris, Sastra Indonesia, Sejarah dan Tradisi Lisan. Tidak bisa dinafikan
untuk menampung semua mahasiswa dari ke enam program studi ini belum maksimal.
Sehingga dengan beberapa pertimbangan Prodi Antropologi tetap melakukan
aktivitas perkuliahan di gedung FIB lama. Namun sampai sekarang belum terlihat
sama sekali ada aktivitas pembenahan di gedung FIB lama yang sekarang ditempati
Prodi Antropologi sebagai tempat perkuliahan.
Ketidakadilan
ini terus saja menganga. Sementara disisi lain, di Fakultas Kedokteran ruangan
berlimpah ruah dengan sarana dan prasarana yang bukan lagi memadai tapi perpect (sempurna). Okelah mungkin satu
hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa Fakultas Kedokteran menjadi lumbung uang
bagi Universitas Halu Oleo lewat penerimaan jalur non-subsidi dan sebagainya.
Namun ini tidak menjadi pembenaran bagi UHO untuk menciptakan jurang sosial
yang cukup terjal.
Perlu
diketahui prasyarat mencapai tridharma perguruan tinggi dapat dilakukan dengan
tercapainya organisasi yang efektif dan efisien, transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan harus jelas, serta pelayanan yang mudah dan bertanggung
jawab. Namun ironinya seakan tidak tersinggung dengan semua itu dana
kemahasiswaaan tetap saja cenderung ditutupi, seperti yang dituntut oleh
berbagai lembaga mahasiswa.
Di
Fakultas Ilmu Budaya misalnya beberapa kali lembaga mahasiswa ingin membuat
kegiatan-kegiatan yang tujuannya mensosialisasikan FIB sendiri ke masyarakat
luas. Tetapi tidak mendapat dukungan dana matriks dari birokrasi fakultas,
bahkan baru-baru ini mahasiswa Sastra Indonesia ingin membuat sebuah kegiatan “Pristiwa Sastra”. Kegiatan ini
merupakan kreativitas mahasiswa-mahasiswa Sastra Indonesia yang yang tujuannya
menciptakan budaya akademik dalam pembangunan kebudayaan di Fakultas Ilmu
Budaya. Namun lagi-lagi tidak diberikan dana, katanya dana kemahasiswaan
kosong.
Ketidakadilan
ini terus saja menganga bak luka sayatan yang tak kunjung sembuh. Padahal setiap
tahunnya universitas mengalokasikan dana kemahasiswaan ke setiap fakultas yang
diperuntukkan untuk segala kegiatan mahasiswa UHO, termasuk Fakultas Ilmu
Budaya. Jika demikian halnya, kemana semua dana kemahasiswaan di FIB yang
jelas-jelas tidak pernah dipakai oleh mahasiswa FIB sendiri.
Visi Fakultas Ilmu Budaya pada tahun
2019 menjadi fakultas yang maju, bermartabat, berbudaya akademik dan
cerdas komprehensif serta menghasilkan sumber daya manusia yang
memiliki kreativitas dalam pembangunan kebudayaan sepertinya hanya elok diatas
kertas saja. Sampai sekarang belum ada defenisi operasional yang jelas terkait
visi Fakultas Ilmu Budaya.
No comments:
Post a Comment