Penulis Indonesia yang mendunia

Penulis Indonesia yang mendunia

OPINI “FAKULTAS SWASTA DIDALAM KAMPUS NEGERI”

Thursday 19 November 2015





“FAKULTAS SWASTA DIDALAM KAMPUS NEGERI”
Oleh: Isbul Ansari

Terlihat ada yang beda setelah Pimnas (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) diselenggarakan di Universitas Halu Oleo Kendari. Ketika acara Pimnas-28 berlangsung sangat terlihat jelas perbaikan-perbaikan di sudut kampus banyak dilakukan.  Memang pada dasarnya disadari ataupun tidak, acara Pimnas ke 28 kemarin membawa angin segar di lingkungan kampus hijau kebanggaan kita.
Tentunya sebagai mahasiswa yang berlindung di balik almamater UHO (Universitas Halu Oleo), serta para civitas akademika dan orang-orang yang merasa bagian dari UHO kita seharusnya patut berbangga karena ternyata Universitas Halu Oleo mampu menyelenggarakan event besar yang sebelumnya banyak diragukan oleh universitas-universitas lain. Ini merupakan ajang pembuktian kepada universitas-universitas raksasa di Indonesia bahwa Universitas Halu Oleo juga mampu bersaing di kanca nasional dalam bidang akademik dan non-akademik.
Keraguan universitas-universitas lain yang ada di Indonesia khususnya daerah jawa sebagai kiblat dunia akademisi saat ini, bukan sesuatu yang tidak wajar. Universitas Hasanuddin misalnya sebagai universitas terbesar yang menjadi barometer kemajuan pendidikan di Indonesia Timur pernah mendapat kepercayaan sebagai tuan rumah Pimnas, tetapi penyelenggaraannya dianggap sangat tidak sukses.
Wajar saja jika universitas-universitas di luar Indonesia Timur mempunyai persefsi jika Pimnas di laksanakan di luar pulau jawa maka tidak sukses. Tetapi kemudian Universitas Halu Oleo sebagai anak dari Universitas Hasanuddin ternyata mampu menyelenggarakan pimnas dengan predikat sukses. Ini merupakan prestasi yang seharusnya diapresiasi oleh masyarakat kampus hijau.
Namun, semua kebanggaan dan prestasi yang sempat disandang UHO sebagai penyelenggara Pimnas-28, sekarang ini hanya tinggal nama. Perbaikan di sudut-sudut kampus pun tidak terlihat lagi, terutama di lingkungan FIB (Fakultas Ilmu Budaya) yang sempat dijadikan tempat lomba PKM-P pada pimnas-28 kemarin. Paving-blok yang dahulunya dipasang dengan cepat dan cekatan oleh para tukang pun sudah mulai lamban, padahal sebelum Pimnas para tukang terlihat sangat antusias menyelesaikan pemasangan paving-blok yang pada akhirnya juga tidak mencapai target. Memang akan banyak keganjalan yang didapati ketika kita ingin mengoreknya lebih jauh.
Belum lagi jika kita melongok sisi dalam gedung FIB baru, seharusnya setiap ruangan staf dan dosen sebagai tempat administrasi mempunyai pendingin ruang tersendiri tanpa harus menyediakan kipas angin manual.  Bahkan di lantai dasar pun yang dijadikan sebagai ruang kuliah yang notabene mempunyai pendingin ruangan di setiap ruang bisa dikatakan tidak mempunyai pendingin ruangan sama sekali, Air Conditioner di dalam ruangan terkadang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, akhirnya konsentrasi mahasiswa dalam menerima materi dari dosen pun sangat  terngganggu. Seharusnya hal ini menjadi perhatian birokrasi fakultas dalam tujuannya menciptakan lulusan yang berkualitas.
Ini merupakan gejala yang seharusnya mampu dicerna oleh mahasiswa maupun civitas akademika FIB. Ada apa dibalik semua ini, mungkinkah penyelenggaraan Pimnas yang selama ini kita banggakan memang hanya dirancang untuk mendapat predikat sukses, tanpa memikirkan imbasnya kedepan terhadap kondisi kampus hijau sendiri. Atau mungkin ada pengesampingan terhadap FIB dari birokrasi universitas, atau malah dari tubuh FIB sendiri terjadi kongkalikong dan saling tarik menarik kepentingan.
Tahun ini Universitas Halu Oleo mendapat kucuran dana dari pemerinah pusat sebesar Rp 35 milyar untuk membangun gedung perkuliahan baru dan juga membenahi gedung lama. Pembangunan gedung FIB sendiri menelan anggaran hingga Rp 6 milyar. Ini lagi-lagi kasus yang mestinya jadi sorotan masyarakat kampus hijau, dari dana sebesar 35 milyar tidak ada sepersen pun yang di alokasikan untuk membenahi gedung lama.  Padahal Rektor Universitas Halu Oleo sendiri Prof. Dr. Usman Rianse pernah mengungkapkan pihaknya tidak akan berhenti membangun gedung perkuliahan baru dan juga membenahi gedung kuliah yang sudah lama. Termasuk penembahan gedung kuliah bagi FIB.
Dari total enam program studi yang ada di FIB, yaitu Antropologi, Arkeologi, Sastra Inggris, Sastra Indonesia, Sejarah dan Tradisi Lisan. Tidak bisa dinafikan untuk menampung semua mahasiswa dari ke enam program studi ini belum maksimal. Sehingga dengan beberapa pertimbangan Prodi Antropologi tetap melakukan aktivitas perkuliahan di gedung FIB lama. Namun sampai sekarang belum terlihat sama sekali ada aktivitas pembenahan di gedung FIB lama yang sekarang ditempati Prodi Antropologi sebagai tempat perkuliahan.
Ketidakadilan ini terus saja menganga. Sementara disisi lain, di Fakultas Kedokteran ruangan berlimpah ruah dengan sarana dan prasarana yang bukan lagi memadai tapi perpect (sempurna). Okelah mungkin satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa Fakultas Kedokteran menjadi lumbung uang bagi Universitas Halu Oleo lewat penerimaan jalur non-subsidi dan sebagainya. Namun ini tidak menjadi pembenaran bagi UHO untuk menciptakan jurang sosial yang cukup terjal.
Perlu diketahui prasyarat mencapai tridharma perguruan tinggi dapat dilakukan dengan tercapainya organisasi yang efektif dan efisien, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan harus jelas, serta pelayanan yang mudah dan bertanggung jawab. Namun ironinya seakan tidak tersinggung dengan semua itu dana kemahasiswaaan tetap saja cenderung ditutupi, seperti yang dituntut oleh berbagai lembaga mahasiswa.
Di Fakultas Ilmu Budaya misalnya beberapa kali lembaga mahasiswa ingin membuat kegiatan-kegiatan yang tujuannya mensosialisasikan FIB sendiri ke masyarakat luas. Tetapi tidak mendapat dukungan dana matriks dari birokrasi fakultas, bahkan baru-baru ini mahasiswa Sastra Indonesia ingin membuat sebuah kegiatan “Pristiwa Sastra”. Kegiatan ini merupakan kreativitas mahasiswa-mahasiswa Sastra Indonesia yang yang tujuannya menciptakan budaya akademik dalam pembangunan kebudayaan di Fakultas Ilmu Budaya. Namun lagi-lagi tidak diberikan dana, katanya dana kemahasiswaan kosong.
Ketidakadilan ini terus saja menganga bak luka sayatan yang tak kunjung sembuh. Padahal setiap tahunnya universitas mengalokasikan dana kemahasiswaan ke setiap fakultas yang diperuntukkan untuk segala kegiatan mahasiswa UHO, termasuk Fakultas Ilmu Budaya. Jika demikian halnya, kemana semua dana kemahasiswaan di FIB yang jelas-jelas tidak pernah dipakai oleh mahasiswa FIB sendiri.
Visi Fakultas Ilmu Budaya pada tahun 2019 menjadi fakultas yang maju, bermartabat, berbudaya akademik dan cerdas komprehensif serta menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kreativitas dalam pembangunan kebudayaan sepertinya hanya elok diatas kertas saja. Sampai sekarang belum ada defenisi operasional yang jelas terkait visi Fakultas Ilmu Budaya.

No comments:

Post a Comment